Anak Laki-laki yang Menangis Bukan ‘Cemen’, Jangan Dilarang!
Di
dalam budaya kita, anak laki-laki lebih mungkin untuk diminta berhenti
saat menangis. Begitu tangisan itu dimulai, selalu ada celetukan, “Udah, ah, anak laki-laki, kok, menangis.” Atau “Jangan nangis, ah. Nggak malu? Kamu itu laki-laki, lho.” Seolah menangis adalah hal yang tidak wajar untuk dilakukan anak laki-laki.
Bahkan, anak laki-laki yang menangis sering juga mendapat olok-olok ‘anak mami”. Mereka dianggap cemen atau lemah dan ‘bukan laki-laki’. Menurut Fiona Forman, MSc., fasilitator psikologi positif terapan dan penulis Welcome to Well-Being – Book A: Meet Mo & Ko (Junior Infants), stereotip
yang seperti ini pada anak laki-laki di dalam budaya kita dapat
menghambat perkembangan emosional mereka. Menurutnya, hal ini bisa
merusak harga diri mereka dan meremehkan citra diri mereka.
Anak Laki-laki Menangis itu Normal
Menangis itu sepenuhnya normal pada manusia, baik laki-laki maupun
perempuan. Menangis adalah sebuah mekanisme pelepasan alamiah yang
membantu kita untuk menenangkan diri. Menangis membuat kita melepaskan
oksitosin, endorfin, dan hormon penghilang stres. Hormon-hormon ini
mampu meningkatkan suasana hati dan menghilangkan rasa sakit. Di samping
itu, menangis juga dapat mendorong keterikatan serta media untuk
mempromosikan dukungan dari teman dan keluarga.
Dampak Stereotip “Anak Laki-laki Nggak Boleh Nangis!”
Menurut Forman, menekan emosi anak laki-laki kita dan melarang mereka untuk menangis punya dampak panjang, yakni:
- Menganggu Perkembangan Emosionalnya
- Tidak Terbuka Mengenai Emosinya
- Kesehatan Mental Terganggu
- Tidak Memiliki Hubungan yang Sehat
- Meningkatkan Risiko Bunuh Diri
Yang Harus Dikembangkan dari Anak Laki-Laki
Ada dua hal penting menurut Forman yang harus dilakukan oleh orang tua, yakni, pertama adalah mengajarkan mereka untuk menerima bahwa semua emosi, termasuk yang negatif seperti kesedihan, kekecewaan, frustrasi, kekhawatiran dan kemarahan adalah benar-benar normal dan tidak perlu dihindari, ditekan atau ditakuti. Setelahnya, yang kedua, orang tua perlu mengajari mereka bagaimana mengekspresikan semua emosi mereka secara konstruktif, bukan destruktif.
Sumber : alodokter.com
No comments