Keharmonisan Paus Fransiskus dengan Imam Besar Masjid Istiqlal KH.Nazarudin Umar
Kunjungan pemimpin tertinggi Katolik Paus Fransiskus ke Indonesia
dipastikan meninggalkan banyak kesan indah tentang kerukunan umat
beragama di Indonesia. Kesan itu bisa dirasakan oleh umat Katolik maupun
umat Islam di Indonesia serta bagi masyarakat internasional.
Di media arus utama dan media sosial, saat ini beredar foto Imam Besar
Masjid Istiqlal Jakarta KH Nasaruddin Umar sedang mencium kening Paus
Fransiskus. Foto itu bersanding dengan foto Paus Fransiskus mencium
tangan Nasaruddin Umar.
Ciuman ke kening Paus Fransiskus oleh Nasaruddin Umar itu mencerminkan
pancaran kasih sayang yang alamiah dari seorang ulama kepada tokoh
Katolik. Nasaruddin tidak canggung melakukan ciuman kasih sayang itu,
meskipun sedang berada di area publik dan disorot banyak media dan
kamera.
Agaknya tidak berlebihan jika apa yang dilakukan Nasaruddin merupakan
peragaan atas nilai-nilai ajaran Islam yang dia pahami dan yakini, yakni
mewujudkan rahmat bagi seluruh alam. Alam tidak bermakna sempit hanya
untuk orang Islam, bahkan bukan hanya untuk manusia, melainkan untuk
seluruh isi semesta ini agar mendapat rahmat dari manusia yang mengimani
ajaran Islam.
Sementara itu, apa yang dilakukan oleh Paus Fransiskus, mencium tangan
seorang ulama, juga dapat dibaca sebagai ekspresi penghormatan yang
tulus terhadap saudaranya sesama makhluk Tuhan, meskipun berbeda iman.
Meskipun Paus merupakan pemimpin tertinggi dunia bagi umat Katolik, ia
tidak terbelenggu oleh rasa gengsi untuk mencium tangan seorang tokoh
Muslim.
Secara estetika, pakaian kedua tokoh besar itu juga sama, yakni
sama-sama mengenakan pakaian (mirip jubah) putih serta penutup kepala
juga warna putih. Warna itu melambangkan kesucian. Karena itu, pertemuan
tersebut melambangkan peragaan pertemuan suci, sekaligus menegaskan
bahwa agama hadir ke Bumi bukan untuk penyulut konflik, melainkan
sebagai sarana untuk merawat bibit persaudaraan dan kemanusiaan.
Warna putih juga menjadi kesepakatan internasional mengenai perdamaian.
Dalam hukum perang internasional disepakati bahwa bendera warna putih
adalah gencatan senjata alias mengandung ajakan damai kepada pihak
musuh.
Semua tampilan yang tersaji dari Nasaruddin Umar dan Paus Fransiskus itu
mendapat pujian dari masyarakat di berbagai media, khususnya media
sosial, yang penyebarannya sangat cepat dan masif. Peristiwa itu tentu
memberi kesan mendalam, sekaligus pesan bagaimana relasi antarumat
beragama di negara kita yang mayoritas Muslim ini memang layak
mendapatkan apresiasi tinggi, bahkan bisa menjadi contoh bagi
bangsa-bangsa lain yang dalam urusan relasi umat beragamanya masih
menghadapi masalah.
Sikap dua tokoh besar itu, secara tidak langsung juga memberi pesan
sunyi namun sarat makna kepada umatnya masing-masing agar juga memiliki
jiwa saling menyayangi, kemudian mewujudkan jiwa damai itu dalam
perilaku keseharian.
Nasaruddin Umar, usai bertemu dengan Paus Fransiskus di Masjid Istiqlal,
menyatakan bahwa semua umat tidak perlu meratapi perbedaan, tetapi
justru harus merayakan perbedaan tersebut. Ajaran Islam menyikapi
perbedaan itu sebagai rahmat sehingga tidak berlebihan jika ditegaskan
bahwa Masjid Istiqlal adalah rumah besar bagi kemanusiaan.
Allah sendiri, dalam ajaran Islam telah menegaskan perbedaan itu sebagai sunnatullah
atau hukum alam dan sudah menjadi kehendak-Nya. Ajaran dasar untuk
menerima dan menghormati perbedaan keyakinan itu termaktub dalam
Al-Qur'an, Surat An Nahl, Ayat 93, yang terjemahannya adalah, "Dan
jika Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja),
tetapi Dia menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk
kepada siapa yang Dia kehendaki".
Artinya, jika tidak menerima, termasuk tidak menghormati keberadaan
agama di luar Islam dan penganutnya, merupakan pelanggaran atas
ketetapan Allah yang memang menghendaki umat manusia di Bumi ini
berbeda. Agama juga menegaskan bahwa perbedaan itu menjadi sarana untuk
saling mengenal atau lita'aarafu satu sama lain, sebagaimana
termaktub dalam Quran Surat Al Hujurat Ayat 13. Beberapa tafsir memaknai
ayat itu untuk mengingatkan umat agar tidak mendominasi yang lainnya,
apalagi sampai menjadi ajang untuk berkonflik.
Selain tampilan dua sekuel foto Paus dan Nasaruddin itu, kita juga
disuguhi kabar tentang rencana misa akbar umat Katolik di Stadion Utama
Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Kamis, 5 September 2024, dengan
dipimpin Paus Fransiskus. Untuk mendukung suasana khidmat atas
peribadatan umat Katolik, Pemerintah Indonesia mengimbau stasiun
televisi yang menyiarkan langsung acara tersebut untuk mengganti azan
Maghrib, dari biasanya menggunakan suara, menjadi tampilan teks
berjalan.
Kita melihat bahwa mayoritas dari pemimpin organisasi kemasyarakatan
(ormas) Islam, mulai dari Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dan
lainnya, sangat menerima imbauan tersebut dengan legawa, dengan niat
menghormati kegiatan keagamaan akbar yang sedang dijalani oleh umat
Katolik. Mereka sepakat bahwa dalam imbauan tersebut tidak ada
pelanggaran terhadap ajaran Islam atau syariat. Tokoh politik di
parlemen juga mendukung imbauan tersebut untuk kita hormati bersama.
Penerimaan itu menunjukkan jiwa besar umat Islam di Indonesia dalam
menyikapi gelaran ibadah umat lain yang waktunya bersamaan dengan waktu
masuk shalat, yakni Maghrib.
Di sisi lain, kenyataan ini menunjukkan bagaimana Pemerintah Indonesia
mampu merawat dan mengelola perbedaan keyakinan, bahkan hal itu
menyangkut peribadatan yang waktunya berlangsung bersamaan.
Sumber : antaranews.com
No comments